Tradisi Perang Meriam Bambu Rawat Budaya Sambut Hari nan Fitri

0 157

Heibogor.com – Meski gegap gempita malam takbir Hari Raya Idul Fitri 1443 Hijriah sudah berakhir namun tradisi merayakan malam takbiran di wilayah Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, pada Minggu (1/5/22) malam lalu masih terasa.

Tradisi perang belecon atau adu gelegar tembakan meriam bambu. Perang belecon tersebut ternyata telah menjadi tradisi masyarakat khususnya di dua desa di daerah Caringin setiap menyambut Hari Raya Idul Fitri. Desa tersebut ialah Desa Cinagara dan Desa Pasir Buncir. Perang belecon tersebut mulai dimainkan menjelang waktu berbuka puasa sebagai ajang pemanasan meriam. Sedangkan mulai dimainkan secara serentak selepas pukul 21:00 malam hingga subuh. Perang meriam bambu ini pun juga diramaikan dengan pesta kembang api.

Sebagaimana dituturkan Cepi Supriadi, salah seorang tokoh pemuda dari Kampung Cisalopa RT.04 Desa Cinagara, bahwa perang belecon itu diyakini oleh warga Cisalopa sebagai tradisi yang sudah puluhan tahun dilakukan masyarakat secara turun temurun. Karena itulah yang memainkan meriam bambu di sini selalu bertambah dari yang tadinya hanya 1-2 RT saja kini sampai beberapa RT bahkan kampung dan desa lain mulai juga mengikuti.

“Sejak saya kecil tradisi ini sudah ada. Seingat saya dari tahun 90an dan ini rutin setiap tahun di momen takbiran Idul Fitri saja. Makanya tradisi ini selalu dinanti,” ucap Cepi. Pria yang juga menjabat sebagai Ketua RT.04 di Kampung Cisalopa ini meneruskan, dibutuhkan waktu selama satu minggu untuk mempersiapkan meriam bambu ini. “Persiapannya seminggu dari mulai mengambil bambu sampai jadi terpasang. Bambu yang kita pakai berjenis bambu bitung. Ini kita dapat dari daerah Cimande. Sedangkan untuk beli bahan-bahannya yakni bambu, karbit, dan minyak tanah, anggarannya dari swadaya pemuda dan masyarakat,” terangnya.

Cepi menjelaskan, pembuatan meriam bambu dilakukan secara gotong royong melihat jumlah meriam yang disiapkan bisa mencapai ratusan. Di Kampung Cisalopa sendiri membuat 120 meriam di mana panjang setiap meriamnya berukuran 1,5 sampai 2 meter dengan diameter lubang 25-30 cm.

Selain bambu, bahan lain yang disiapkan yaitu karbit (penghasil suara letusan), minyak tanah (untuk menyulutkan api), dan air (untuk melarutkan karbit). Jadi, suara tembakan itu berasal dari karbit yang menguap setelah dilarutkan dalam air kemudian disulut dengan panas api. “Untuk karbit yang dipakai kita menyiapkan 100 kg. Di tempat lain ada yang 50, ada yang 75 kg. Jadi, tiap RT pemakaian karbitnya beda-beda. Jumlah meriamnya juga beda-beda. Lokasinya pun banyak ada di beberapa titik. Di Desa Cinagara ini saja ada 5 titik. Di Desa Pasir Buncir ada 8 titik,” ungkapnya.

Banyaknya warga yang memainkan perang belecon, sambung Cepi, membuat suara tembakan meriam bambu ini menggelegar sepanjang malam hingga pagi mengiringi lantunan takbir yang menggema. “Dari itulah tradisi ini dipertahankan karena selain menghibur, warga menyakini ini juga sebagai syiar untuk cintai pada hari besar umat Islam. Di samping sebagai ajang mempersatukan warga khususnya generasi muda untuk mau melestarikan tradisi. Karena ini yang membuat orang ingin pulang kampung, rindu kampung halaman karena ramai ada tradisi dan hiburan yang mempersatukan warga,” pungkasnya.

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.